Minggu, 12 Juni 2016

MODEL VON THUNEN

20.10



Model Von Thunen

Johann Heinrich Von Thunen seorang ekonom dan tuan tanah di Jerman menulis buku berjudul Der Isolierte Staat in Beziehung auf Land Wirtschaft pada tahun 1826. Ia mengupas tentang perbedaan sewa tanah (pertimbangan ekonomi). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Isolated State in Relation to Agriculture oleh Peter Hall yang diterbitkan pada tahun 1966 di London. Dalam modelnya tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut:
1.      Wilayah analisis bersifat terisolir (isolated state) sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain.
2.      Tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah.
3.      Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah, dan topografi yang seragam.
4.      Fasilitas pengangkutan adalah primitive (sesuai pada zamannya) dan relative seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa.
5.      Kecuali perbedaan jarak ke pasar, semua factor alamiah yang memengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.
Berdasarkan asumsi di atas Von Thunen membuat kurva hubungan sewa tanah dengan jarak ke pasar sebagai berikut.
   sewa tanah
                                                            sewa yang terjadi dari
                                                            hasil tawar menawar

                 0                                   D = jarak dari pasar
Kurva perbedaan sewa tanah sesuai dengan perbedaan jarak ke pasar.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa tingkat sewa tanah adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa tanah. Makin tinggi kemapuannya untuk membayar sewa tanah, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Selain itu, masing-masing jenis kegiatan/produksi memiliki kurva permintaan atas tanah berupa kurva tak acuh (indifference curve) yang menggambarkan hubungan antara sewa tanah dan jarak dari pasar. Kemiringan kurva berbeda antara satu jenis kegiatan/produksi dengan kegiatan/produksi lainnya. Ada kurva yang menurun tajam, agak tajam, agak landai, dan landai. Misalnya, ada dua jenis kegiatan A dan B yang masing-masing memiliki kurva tak acuh dengan kelandaian berbeda seperti berikut:
        Sewa tanah
                                                 
                                                  Kurva A
                                          
                                                                   Kurva B

Pasar                   T                           D=Jarak dari pasar
 Perbedaan kurva sewa tanah untuk kegiatan yang berbeda.
Kurva A menggambarkan kurva permintaan tanah (sewa tanah) untuk kegiatan A, sedangkan kurva B menggambarkan kurva permintaan tanah (sewa tanah) untuk kegiatan B. Kegiatan A bersifat tak acuh (indifference) pada kurva permintaan tanah tersebut. Artinya, bagi mereka adalah sama saja berlokasi di titik mana pun pada cakupan kurva tersebut, setelah membandingkan antara sewa tanah dengan jauhnya lokasi ke pasar yang berbanding terbalik. Karena perbeddaan kurva permintaan antar kegiatan A dengan kegiatan B, maka sampai jarak T akan dimenangkan oleh kegiatan A, sedangkan setelah titik T dimenangkan oleh kegiatan B. analisis seperti ini dapat dilanjutkan sampai beberapa macam kegiatan yang menggunakan penggunaan tanah. Hasilnya adalah satu pola penggunaan tanah berupa diagram cincin yang pada waktu itu adalah sebagai berikut:
                                                                  Keterangan :
                                                                  P            = Pasar
                                                                  Cincin 1 = Pusat industry/kerajinan
Cincin 2 = Pertanian intensif (produksi susu dan sayur-sayuran)
Cincin 3 = Wilayah hutan (untuk menghasilkan kayu bakar).
Cincin 4 = pertanian ekstensif (dengan rotasi 6 atau 7 tahun).
Cincin 5 = Wilayah peternakan.
Cincin 6 = Daerah pembuangan sampah.
Diagram cincin dari Von Thunen.
Penggunaan tanah saat ini tidak lagi berkelompok persisi seperti cincin dan isi masing-masing cincin juga tidak lagi sama seperti dalam diagram Von Thunen. Namun demikian konsep Von Thunen bahwa sewa tanah sangat memengaruhi jenis kegiatan yang mengambil tempat pada lokasi tertentu masih tetap berlaku dan hal ini mendorong terjadinya konsentrasi kegiatan tertentu pada lokasi tertentu. Von Thunen menggunakan contoh sewa tanah untuk produksi pertanian, tetapi banyak ahli studi ruang berpendapat bahwa teori itu juga relevan untuk sewa/penggunaan tanah di perkotaan dengan menambah aspek tertentu, misalnya aspek kenyamanan dan penggunaan tanah di masa lalu. Penggunaan tanah di perkotaan tidak lagi berbentuk cincin tetapi tetap terlihat adanya kecenderungan pengelompokan dan untuk pengguanaan yang sama berupa kantong-kantong, di samping adanya penggunaan berupa campuran antara berbagai kegiatan. Penggunaan  lahan yang berbeda antar satu kota dengan kota lainnya. Namun, kecenderungan saat ini adalah pusat kota umumnya didominasi oleh kegiatan perdangan dan jasa, sedikit ke arah luar diisi oleh kegiatan industry, kerajinan (home industry) bercampur dengan perumahan sedang dan kumuh. Perumahan elit justru mrngambil lokas lebih kearah luar lagi (mengutamakan kenyamanan). Industry besar umumnya berada di luar kota karena banyak pemerintah kota yang melarang industry besar dan yang berpolusi mengambil lokasi di dalam kota.
Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga tanah tinggi di pusat kota dan akan makin menurun apabila makin menjauh dari pusat kota; harga tanah adalah tinggi pada jalan-jalan utama (akses ke luar kota) dan akan makin rendah apabila menjauh dari jalan utama. Makin tinggi kelas jalan utama itu, makin mahal sewa tanah di sekitarnya. Jadi, bentuk gambarnya adalah seperti kerucut (segitiga) jarring laba-laba, di mana puncak kerucut itu adalah pusat kota. Namun perlu dicatat bahwa akan ada kantong-kantong lokasi yang menyimpang dari ketentuan di atas karena adanya faktor khusus, seperti faktor keamanan, kenyamanan dan telah adanya konsentrasi kegiatan tertentu di lokasi tersebut. Untuk lahan pertanian perlu diingat toeri Ricardo yang mengatakan bahwa sewa tanah terkait dengan tingkat kesuburan tanah tersebut. Namun pandangan Ricardo ini pun tetap terikat kepada jarak/akses lahan pertanian itu terhadap pusat kota (wilayah pemasarannya).
Teori Von Thunen yang masih relevan dengan kondisi sekarang.
kelangkaan persediaan sumber daya lahan di daerah perkotaan memicu berlakunya hukum ekonomi supply and demand semakin langka barang di satu pihak semakin meningkat permintaan di pihak lain akibatnya harga melambung. Demikian yang terjadi terhadap lahan yang ada di daerah perkotaan, dimana nilai sewa atau beli lahan yang letaknya dipusat kegiatan, semakin dekat ke pusat semakin tinggi nilai sewa atau beli lahan tersebut. Kelangkaan lahan di kota-kota besar seperti untuk pertokoan misalnya, banyak sekali toko – toko yang terletak di pusat kota biaya sewa atau beli tanahnya lebih mahal dari biaya sewa atau beli rumah yang jauh dari pusat perkotaan, bahkan harganya selalau naik, mengikuti perkembangan yang terjadi dari tahun ketahunnya. Ini mengindikasikan bahwa teori Von Thunen tentang alokasi lahan untuk kegiatan pertanian juga berlaku di daerah perkotaan. Selain itu teori Von Thunen juga masih berlaku untuk wilayah pertanian yang jauh dari kota dimana akses prasarana jalan yang kurang mendukung dan pasar masih bersifat tradisional. Ini banyak terjadi di wilayah perdesaan daerah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dimana wilayah pertanian sangat terisolir sehingga teori sewa lokasi Von Thunen ini masih sangat relevan.
Teori Von Thunen yang kurang Relevan dengan kondisi sekarang.
Von Thunen menggunakan tanah pertanian sebagai contoh kasusnya. Dia menggambarkan bahwa perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian dari tempat produksi ke pasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada di suatu daerah. Gambar model Von Thunen di atas dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, menampilkan “isolated area” yang terdiri dari dataran yang “teratur”, kedua adalah, kondisi yang “telah dimodifikasi” (terdapat sungai yang dapat dilayari). Semua penggunaan tanah pertanian memaksimalkan produktifitasnya masing-masing, dimana dalam kasus ini bergantung pada lokasi dari pasar (pusat kota). Model tersebut, membandingkan hubungan antara biaya produksi, harga pasar dan biaya transportasi. Kewajiban petani adalah memaksimalkan keuntungan yang didapat dari harga pasar dikurang biaya transportasi dan biaya produksi. Aktivitas yang paling produktif seperti berkebun dan produksi susu sapi, atau aktivitas yang memiliki biaya transportasi tinggi seperti kayu bakar, lokasinya dekat dengan pasar.Model von Thunen mengenai tanah pertanian ini, dibuat sebelum era industrialisasi, yang memiliki asumsi dasar sebagai berikut : Kota terletak di tengah antara “daerah terisolasi” (isolated state). Isolated State dikelilingi oleh hutan belantara. Tanahnya datar. Tidak terdapat sungai dan pegunungan. Kualitas tanah dan iklim tetap. Petani di daerah yang terisolasi ini membawa barangnya ke pasar lewat darat dengan menggunakan gerobak, langsung menuju ke pusat kota. Tidak terdapat jalan penghubung, petani mencari untung sebesar-besarnya.Tentu saja hubungan di atas sangat sulit diterapkan pada keadaan saat ini, dimana prasarana transportasi sudah begitu maju, alat tranportasi sebagai alat angkut hasil pertanian juga banyak dan murah. Penggunaan teknologi modern dalam bidang pertanian menyebabkan teori Von Thunen ini sudah kurang relevan dengan kondisi saat ini. Tetapi bagaimanapun kita harus mengakui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sistem transportasi dengan pola penggunaan tanah pertanian regional.
Beberapa kelemahan teori Von Thunen:
  1. Merupakan model keseimbangan yang sifatnya parsial, tidak memuat interelasi antara variabel yang telah di khususkan, perhitungan akan susah dilakukan bila terjadi perubahan di masa mendatang
  2. Tidak memperhatikan faktor non ekonomis yang mempengaruhi produksi
  3. Tidak memperhitungkan perbedaan luas perusahaan pertanian atau luas pasaran yang tak menghasilkan ekonomi berskala produksi atau pasaran yang bersangkutan sehingga dapat merusak zona tata guna lahan
  4. Keterkaitannya pada waktu
5.      Keterkaitannya pada wilayah karena :
·         Kemajuan di bidang transportasi telah menghemat banyak waktu dan uang (mengurangi resiko busuk komoditi);2.
·         Adanya berbagai bentuk pengawetan, memungkinkan pengiriman jarak jauh tanpa resiko busuk.
·         Negara industri mampu membentuk kelompok produksi sehingga tidak terpengaruh pada kota
·         Antara produksi dan konsumsi telah terbentuk usaha bersama menyangkut pemasaran (tidak selalu memanfaatkan jasa kota dalam pemasarannya).














Daftar Putaka


Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Edisi Revisi. Jakarta  : PT. Bumi Aksara.
Adisasmita, Rahardjo. 2004. Teori Lokasi dan Pengembangan Wilayah. Makassar : LEPHAS

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 IKATAN PELAJAR SANTAI. All rights resevered. Designed by Templateism | Blogger Templates

Back To Top