PERBEDAAN KURIKULUM
ANTARA INDONESIA DAN JEPANG
A. Sistem Pendidikan Di Indonesia
Berbicara soal pendidikan,
didalamnya tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab pemerintah terhadap
peningkatan kualitas SDM di indonesia. Termasuk juga peranan masyarakat sebagai
pelaku utama pendidikan. Kesadaran masyarakat bahwa pendidikan bukan sekedar
formalitas belaka namun mengerti dan memahami dengan benar bagaimana
berinvestasi pada pendidikan. Peranan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan
pendidikan tidak akan maksimal tanpa partisipasi masyarakat didalamnya,
mengingat adanya pemikiran yang berkembang di kalangan masyarakat untuk
investasi didunia kerja (bekerja atau lainnya) daripada investasi pendidikan.
Mungkin masih dapat diterima jika mengacu pada masyarakat yang kurang mampu.
Education In Indonesia, Sistem Pendidikan Di Indonesia.
Pendidikan di Indonesia adalah
tanggung jawab dari Departemen Pendidikan Nasional Indonesia , sebelumnya
adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Sistem pendidikan di
Indonesia yang di programkan oleh pemerintah adalah semua warga negara harus
melakukan setidaknya sembilan tahun pendidikan wajib, di mulai enam tahun pada
tingkat SD dan selanjutnya tiga tahun di bangku SMP. Pendidikan sendiri telah
didefinisikan sebagai sebuah upaya yang direncanakan untuk mendirikan suatu
lingkungan belajar dan proses kegiatan pendidikan sehingga siswa secara aktif
dapat mengembangkan / potensi nya yang ada pada dirinya sendiri untuk
mendapatkan tingkat religius dan spiritual, kesadaran, kepribadian, kecerdasan,
perilaku dan kreativitas untuk dirinya sendiri, lainnya warga negara dan untuk
bangsa.
Konstitusi juga telah mencatat
kalau pendidikan di Indonesiasecara garis besar telah dibagi menjadi dua bagian
yaitu pendidikan formal dan non-formal. Selanjutnya pendidikan formal juga
masih dibagi lagi menjadi tiga level yaitu, tingkat primer, sekunder dan
pendidikan tinggi. Sekolah-sekolah yang ada di Indonesia dijalankan baik oleh
pemerintah (Negeri) atau pribadi (Swasta). Beberapa sekolah dari swasta
menyebut diri mereka sebagai "sekolah nasional plus" yang berarti
bahwa mereka melampaui ketentuan minimum pemerintah, terutama dalam kaitannya
dengan penggunaan kurikulum bahasa Inggris atau internasional di samping
kurikulum nasional.
Banyak sudah saran dan kritik untuk
mengatasi persoalan pada sistem pendidikan Indonesia. Akan tetapi seiring
berjalannya waktu, topik-topik tersebut mengalami ketidakpastian dalam
pengaplikasiannya. Tampaknya hanya berputar-putar dalam lingkaran dan maju secara
perlahan jika kata “kemandekan” atau “kegagalan” terlalu vulgar untuk
diutarakan. Pemerintah dan organisasi pendidikan di indonesia terlalu sibuk
dengan sistem informasi manageman, analisis finansial, angka kelulusan dan
data-data kuantitatif lainnya sehingga terpisah jauh dari jantung pendidikan
itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir ini. Devaluasi standart kualitas
pendidikan tidak hanya melanda organisasi pendidikan saja, tetapi telah merusak
sistem pendidikan Indonesia.
Bukti nyata dari gejala-gejala
ketidakefektifan pendidikan di indonesia adalah banyaknya penggangguran di
indonesia termasuk “produk-produk gagal” bertitle S1 meskipun hal ini tidak
terlepas dari dampak krisis ekonomi dunia tapi setidaknya indikasi bahwa produk
pendidikan kita belum siap berhadapan dengan kerasnya globalisasi dan
persaingan didunia luar. Data statistik yang banyak dilansir media-media yang
beredar memang menyebutkan bahwa tingkat penggangguran di indonesia telah
mengalami penurunan, dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi indonesia yang
semakin membaik. Tapi realita di lapangan masih menyisakan keprihatinan
tersendiri. Bagaimana tidak, masih banyak pekerjaan yang tidak layak disebut
pekerjaan seperti pemecah batu, penambang pasir hingga pekerja seks yang
mengkomersilkan diri (mungkin hal semacam ini dimasukan oleh
organisasi-organisasi yang melakukan survey sehingga data statistik pertumbuhan
ekonomi kita mengalami peningkatan) meskipun variabel-variabel tersebut tidak
dapat dipakai sebagai patokan utama penilaian keberhasilan atau kegagalan
pendidikan di indonesia. Dan jika masyarakat masih banyak yang hidup dalam
kemiskinan, bias dengan mudah menyimpulkan bahwa pendidikan kita mengalami
kegagalan. Yang jelas kualitas pendidikan Indonesia akan selalu menjadi tanda
tanya besar di masa yang akan datang.
Sistem pendidikan saat ini seperti
lingkaran setan, jika ada yang mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang
mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru, pernyataan tersebut
betul sekali, namun pada kenyataannya di lapangan, sering kali nilai raport
yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi
nilainya dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru
tersebut berhasil dalam mengajar, karena tidak boleh ada nilai 4 atau 5 di
raport dan lain sebagainya. Mengapa guru bersikap demikian, mengapa nilai
siswa-siswa banyak yang belum tuntas, salahkah guru?? Jawabannya bisa ya bisa
tidak, bisa ya karena mungkin guru tersebut tidak memiliki kompetensi mengajar
yang memadai, bisa tidak, karena sistem pendidikan Indonesia mengharuskan siswa
mempelajari bidang studi yang terlalu banyak. Rata-rata bidang studi yang harus
mereka pelajari selama satu tahun pelajaran adalah 16 bidang studi, dengan
materi untuk tiap bidang studi juga banyak, abstrak dan tidak sesuai dengan
kebutuhan siswa.
Sistem pendidikan Indonesia terlalu
memaksa anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang studi dengan materi
yang sedemikian abstrak, yang selanjutnya membuat anak merasa tertekan/stress
yang dampaknya membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran, mencontek,
dan lain-lain. Yang pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan
baik, nilai mereka kurang padahal sudah dilakukan remidi, dan supaya dianggap
bisa mengajar atau karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan
beban pelajaran siswa terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai
raport. Nilai raport inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh
beasiswa atau melanjutkan kuliah atau ikut PMDK dan lain sebagainya. Tahukah
siswa akan kenyataan pahit ini? Lalu apakah UN solusi untuk melihat kemampuan
siswa? Bukan, karena UN tidak adil, bahwa kemampuan siswa tidak dapat
distandardisasi.
Jika memang tetap sekolah yang akan
dijadikan satu-satunya alat untuk mencerdaskan seseorang, maka sistem
pendidikan Indonesia harus diubah, tidak boleh memaksakan siswa, kurikulum
disesuaikan dengan kompetensi dasar masing-masing siswa, bidang studi yang
diajarkan tidak terlalu banyak dan materi untuk tiap bidang studi disesuaikan
dengan perkembangan siswa. Ubo rampe yang lain seperti fasilitas pendidikan dan
kesejahteraan guru mestinya ikut ditingkatkan. Subsidi pendidikan diperbesar,
pungutan dan pemotongan dana dan lain-lain dihapuskan.
Bagi siswa yang berani mengambil
keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, yang menyadari bahwa UN bukan
segala-galanya, yang menyadari bahwa belajar bisa dimana saja sesuai dengan
keinginan, minat dan kebutuhannya, salut buat mereka, percayalah gelar bukan
jaminan keberhasilan seseorang. Banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa
keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah
dijadikan robot sistem pendidikan Indonesia.
B. KURIKULUM
INDONESIA
Sejarah kurikulum pendidikan di
Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu
pendidikan Indonesia belum memenuhi satandar mutu yang jelas dan mantap. Dalam
perjalanan sejarah sejak 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami
perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004,
2006, dan 2013.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang sedang dalam tahap
perencanaan dan saat ini sedang dalam proses pelaksanaan oleh pemerintah,
karena ini merupakan perubahan dari struktur kurikulum KTSP. Perubahan ini
dilakukan karena banyaknnya masalah dan salah satu upaya untuk memperbaiki
kurikulum yang kurang tepat. Kurikulum 2013 yang akan dijalankan secara
terbatas mulai Juli 2013 yaitu berkaitan dengan perencanaan pembelajaran.
Kurikulum 2013 kegiatan pengembangan silabus
beralih menjadi kewenangan pemerintah, kecuali untuk mata pelajaran tertentu
yang secara khusus dikembangkan di satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pada kurikulum 2013, siswa diharapkan mampu berkomunikasi lebih
aktif didalam kelas, contohnya dengan banyak bertanya kepada guru, berdiskusi,
dan tampil didepan kelas untuk menyampaikan gagasan atau ide mengenai pelajaran yang tengah
berlangsung. Kurikulum ini menuai banyak kontroversi dari kalangan pendidik dan
khususnya murid sebagai penerima pendidikan. Mulai dari keluhan dan
ketidaksetujuan para murid atas diberlakukannya kebijakan yang dianggap terlalu
menyita waktu mereka untuk bersekolah. Contohnya, tugas dari guru yang selalu
diberikan setiap hari, pulang sekolah terlalu sore, dan peraturan bahwa hari
sabtu masuk sekolah. Kondisi ini sangat menyita otak murid tanpa memberikan
ruang sediki tpun untuk untuk beristirahat. Pada akhirnya, murid terpaksa harus
menghadapi kendala dalam mengatur waktu belajar, waktu bermain dan waktu
istirahat mereka. Para pendidikpun mengeluhkan kurangnya sosialisasi mengenai
kurikulum 2013. Dan tidak semua pendidik mendapatkan penataran/diklat mengenai
kebijakan kurikulum 2013. Akibatnya, terjadi masalah demi masalah yang
mencoreng nama pendidikan di Indonesia.
Dalam kurikulum ini terdapa beberapa standar yaitu:
1. Standar
Proses
1) Pada kurikulum 2013 dalam proses belajar mengajar nantinya
yang lebih dominan adalah afektif, psikomotor, baru kognitif. Artinya siswa
dalam proses
lebih menonjolkan afektif dan psikomotornya.
2) Kurikulum 2013 sangat menekankan penyeimbangan antara
aspek kognitif
(intelektual), psikomotorik (gerak) dan afektif
(sikap).
3) Pembelajaran
lebih mengaktifkan siswa
4) Mengganti
sistim penjurusan dengan sistim peminatan tingkat SMA
5) Mengatasi Fenomena Nilai Hasil menyontek
6) Perubahan
buku teks siswa
7) Standar Proses kurikulum 2013
meliputi kegiatan Mengamati, Menanya, Mengolah, Menyajikan, Menyimpulkan, dan
Mencipta.
8) Belajar tidak hanya terjadi di ruang
kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat
9) Guru bukan satu-satunya sumber
belajar.
10) Sikap tidak diajarkan secara verbal,
tetapi melalui contoh dan teladan
2. Standar
Kompetensi Lulusan Kurikulum 2013
SKL
(Standar Kompetensi Lulusan) ditentukan terlebih dahulu, melalui
Permendikbud No 54 Tahun 2013. Setelah itu baru ditentukan Standar Isi, yang
bebentuk Kerangka Dasar Kurikulum, yang dituangkan dalam Permendikbud No 67,
68, 69, dan 70 Tahun 2013. Dalam
peraturan tersebut antara lain dikemukakan bahwa:
1) Standar
Kompetensi Lulusan
adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
2) Standar
Kompetensi Lulusan
digunakan sebagai acuan utama pengembangan standar isi, standar proses, standar
penilaian pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana
dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan.
3) Standar
Kompetensi Lulusan
terdiri atas kriteria kualifikasi kemampuan peserta didik yang diharapkan dapat
dicapai setelah menyelesaikan masa belajarnya di satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
4) Adapun Kompetensi Lulusan untuk
masing-masing jenjang pendidikan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Dimensi
|
Lulusan
|
Kualifikasi Kemampuan
|
Sikap
|
SD/MI/SDLB/Paket
A
|
Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu,
percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
|
SMP/MTs/SMPLB/Paket
B
|
Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu,
percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
|
|
SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket
C
|
Memiliki
perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu,
percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan
bangsa dalam pergaulan dunia.
|
|
Pengetahuan
|
SD/MI/SDLB/Paket
A
|
Memiliki
pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin tahunya tentang
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di
lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
|
SMP/MTs/SMPLB/Paket
B
|
Memiliki
pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak mata.
|
|
SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket
C
|
Memiliki
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan
kejadian.
|
|
Keterampilan
|
SD/MI/SDLB/Paket
A
|
Memiliki
kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan
konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.
|
SMP/MTs/SMPLB/Paket
B
|
Memiliki
kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan
konkret sesuai dengan yang dipelajari disekolah dan sumber lain sejenis.
|
|
SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket
C
|
Memiliki
kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan
konkret sebagai
pengembangan
dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri.
|
3. Standar
Penilaian
Standar Penilaian menggunakan
penilaian otentik, yaitu mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan berdasarkan proses dan hasil.
C.
KURIKULUM
JEPANG
Kualitas
pendidikan di Jepang memang tak perlu dipertanyakan lagi, jika
melihat berhasilnya Jepang untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Salah satu yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia adalah kurikulum pendidikan di negara tersebut. Tak hanya di
Indonesia yang gemar ganti kurikulum pendidikan, negara maju seperti Jepang pun
kerap ganti kurikulum. Perubahan tersebut mau tidak mau membawa dampak
perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi pendidik di Jepang.
Menurut Ahmad Sentosa dalam
artikel berjudul Kurikulum dan Kompetensi Guru di Jepang, Ia
menjelaskan untuk level pendidikan taman kanak-kanak (TK), di Jepang lebih
cenderung merupakan lembaga pengembangan dan pelatihan kebiasaan sehari-hari.
Karena itu pendidikan di level TK bukanlah pengajaran, tatapi lebih tepat
disebut pendidikan.
Sedangkan untuk
tingkat Sekolah Dasar (SD), sifat dan karakteristik kurikulum di Jepang hampir
sama dengan kurikulum SD di Indonesia.Hanya yang membedakan adalah pada mata
pelajaran kebiasaan hidup yang umumnya diajarkan di kelas 1 dan 2. Tujuan utama
diajarkan mata pelajaran ini adalah untuk mengenalkan dan membiasakan anak-anak
pada pola hidup mandiri. Daripada mengajarkan mata pelajaran IPA dan IPS,
Jepang lebih memilih memperkenalkan tata cara kehidupan sehari-hari kepada
anak-anak yang baru lulus dari tingkat TK yang lebih memfokuskan kegiatan
bermain daripada belajar di dalam kelas.
Pembelajaran
utama seperti bahasa Jepang dan berhitung mempunyai porsi yang lebih dibanding
pelajaran lainnya. Sedangkan pelajaran moral diajarkan tidak secara khusus
dalam mata pelajaran tertentu, tetapi diajarkan oleh wali kelas sejam seminggu
atau diintegrasikan melalui pelajaran lain. Dan pendidikan moral sudah termasuk
pada pendidikan agama (Kristen, Budha, Shinto). Selain murid disibukkan dengan
pendidikan akademik, pendidikan bersifat estetik berupa musik dan menggambar
juga diajarkan dalam porsi besar di kelas 1 dan 2. Untuk pendidikan SMP,
kurikulum menitik beratkan pada pendidikan bahasa Jepang, matematika, IPA dan
IPS. Sedangkan pendidikan bahasa asing seperti Inggris dan Jerman tidak
diwajibkan dan hanya bersifat pilhan bagi murid. Pelajaran bahasa Inggris baru
dijadikan pelajaran wajib di level SMP pada kurikulum 2002. Adanya mata
pelajaran pilihan seperti bahasa Jepang, IPS, matematika, IPA, musik, art, pendidikan
jasmani, keterampilan, dan bahasa asing, merupakan pembeda khas antara
kurikulum pendidikan SMP di Jepang dan Indonesia. Selain pendidikan utama di
Jepang juga dilengkapi dengan pendidikan ekstrakurikuler seperti di Indonesia.
Dibandingkan
kurikulum SD dan SMP, kurikulum SMA di Jepang paling sering berubah. Pada
tingkat ini sudah diadakan sistem penjurusan seperti di Indonesia. Sifat khas
kurikulum SMA adalah kompleksnya pelajaran yang diajarkan. Contohnya pelajaran
bahasa Jepang yang mulai dikelompokkan menjadi literatur klasik dan modern.
Penjurusan dilakukan di kelas 3, jurusan yang ada meliputi IPA dan
budaya/sosial. tetapi seiring berjalannya waktu penjurusan mengalami
perkembangan karena banyaknya lulusan SMA yang memilih akademi yang terkait
dengan teknik, pertanian, perikanan, kesejahteraan masyarakat, dan lain lain.
Bukan
hanya di Indonesia saja banyak pro dan kontra tentang kurikulum pendidikan, di
jepang pun kurikulum dilakukan secara top down, bukan bottom
up. Karenanya banyak yang tidak dapat diterapkan di sekolah secara
optimal. Dan pada akhirnya mendapat protes keras dari para guru. Di Jepang
memperlakukan kegiatan belajar di luar secara berkala, mereka mengunjungi
tempat-tempat bersejarah dan lahan pertanian atau perkebunan untuk belajar memetik
teh, jeruk dan menggali umbi-umbian, bahkan sampai belajar menanam padi di
sawah. Di lain waktu, siswa secara berkelompok diajarkan cara menumpang kereta
(densha) untuk melatih kemandirian, selain itu diselingi kegiatan
wawancara dengan berbagai narasumber kemudian menjadi bahan untuk presentasi di
depan kelas.
Sepertinya
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak hanya bergantung
pada sistem pendidikan itu sendiri, tapi setiap sistem dan orang di dalamnya
seperti guru dan para pelajar pun harus ikut mendukung untuk mencapai visi dan
misi yang sama. Jadi, Jepang dalam menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas pun tidak semata-mata dengan hasil instan tapi dengan proses yang
hampir sama dengan negara maju lain pada umumnya. Karena seperti yang dikatakan
sebelumya proses kurikulum di Jepang pun tidak lepas dari kata bongkar pasang,
tapi dengan loyalitas para pengajar dan tingkat kedisiplinan pelajar akhirnya
dapat menciptakan banyak SDM berkualitas.
SUMBER
Efa blog’s. 2012. Perbendaan sistem pendidikan di Indonesia dan Amerika. DKI Jakarta.
(diakses
pada tanggal 2 januari 2015)